Langsung ke konten utama

Limbah B3

Limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B-3), adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain (UU No. 32 Tahun 2009).

Penghasil limbah B-3, baik perorangan maupun badan usaha tidak boleh membuang limbah B-3 yang dihasilkan secara langsung ke lingkungan (tanah, air atau udara) tanpa pengolahan terlebih dahulu. Juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi zat racun dan bahaya limbah B-3, karena pada hekekatnya pengenceran tidak mengurangi beban pencemaran yang ada dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran (PP 18 tahun 1999 jo. 85 tahun 1999).
Berdasarkan PP 85 tahun 1999, Pasal 6, penentuan limbah B-3 dilakukan melalui proses identifikasi menurut sumber dan/atau uji karakteristik dan/atau uji toksikologi, sebagai berikut  :
  1. Mencocokkan jenis limbah dengan daftar jenis limbah B-3 sebagaimana Lampiran I PP 85/1999, dan apabila cocok dengan daftar jenis limbah B-3 tersebut, maka limbah tersebut termasuk limbah B-3;
  2. Apabila tidak cocok dengan daftar jenis limbah B-3 sebagaimana Lampiran I PP 85/1999, maka diperiksa apakah limbah tersebut memiliki karakteristik; mudah meledak dan/atau mudah terbakar dan/atau beracun dan/atau bersifat reaktif dan/atau menyebabkan infeksi dan/atau bersifat korosif.
  3. Apabila kedua tahapan tersebut sudah dilakukan dan tidak memenuhi ketentuan limbah B-3, maka dilakukan uji toksikologi. Pengujian toksikologi limbah B-3 ini dimaksudkan untuk menentukan sifat akut dan/atau kronik. Penentuan sifat akut limbah B-3 dilakukan dengan uji hayati untuk mengukur hubungan dosis respon antara limbah dengan kematian hewan uji untuk menentukan nilai LD50 (Lethal Dose 50). Apabila nilai LD50 secara oral lebih besar dari 50 mg/kg berat badan, maka terhadap limbah yang mengandung salah satu dari zat pencemar pada lampiran III (daftar zat pencemar dalam limbah yang bersifat kronis) perlu dilakukan evaluasi sifat  kronis.

Lebih lanjut, dalam PP 18 tahun 1999 jo. 85 tahun 1999 dijelaskan bahwa pengelolaan limbah B-3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B-3.
  1. Reduksi limbah B-3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah dan mengurangi sifat bahaya dan racun limbah B-3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan.
  2. Penyimpanan adalah kegiatan menyimpan limbah B-3 yang dilakukan oleh penghasil dan/atau pengumpul dan/atau pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B3 dengan maksud menyimpan  sementara;
  3. Pengumpulan limbah B-3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B-3 dengan maksud menyimpan sementara sebelum diserahkan kepada pemanfaat dan/atau pengolah dan/atau penimbun limbah B-3;
  4. Pengangkutan limbah B-3 adalah suatu kegiatan pemindahan limbah B-3 dari penghasil dan/atau dari pengumpul dan/atau dari pemanfaat dan/atau dari pengolah ke pengumpul dan/atau ke pemanfaat dan/atau ke pengolah dan/atau ke penimbun limbah B3;
  5. Pemanfaatan limbah B-3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/atau penggunaan kembali (reuse) dan/atau daur ulang (recycle) yang bertujuan untuk mengubah limbah B-3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia;
  6. Pengolahan limbah B-3 adalah proses untuk mengubah karakteristik dan komposisi limbah B-3 untuk menghilangkan dan atau mengurangi sifat bahaya dan atau sifat racun;
  7. Penimbunan limbah B3 adalah suatu kegiatan menempatkan limbah B-3  pada suatu fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Menurut Sukanti (2005), proses pengolahan limbah B-3 dapat dilakukan dengan cara pengolahan fisika-kimia, stabilisasi/solidifikasi, dan insenerasi. Proses pengolahan fisika-kimia bertujuan untuk mengurangi daya racun limbah B-3 dan/atau menghilangkan sifat/karakteristik limbah B-3 dari berbahaya menjadi tidak berbahaya. Stabilisasi/solidifikasi bertujuan untuk mengubah watak fisik dan kimiawi limbah B-3 dengan cara penambahan senyawa pengikat agar pergerakan senyawa B-3 terhambat atau terbatasi dan membentuk massa monolit dengan struktur yang kekar. Sedangkan insinerasi bertujuan untuk menghancurkan senyawa B-3. 

Pemilihan proses pengolahan limbah B-3, teknologi dan penerapannya didasari atas evaluasi kriteria yang menyangkut kinerja, keluwesan, kehadalan, keamanan, operasi dari teknologi yang digunakan, dan pertimbangan lingkungan. Timbunan limbah B-3 yang sudah tidak dapat diolah atau dimanfaatkan lagi harus ditimbun pada lokasi penimbunan (landfill) yang memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Hirarki Pengelolaan Limbah

Prinsip hirarki pengelolaan limbah adalah suatu prinsip yang memberikan pedoman tentang tahapan-tahapan dalam pengelolaan limbah mulai dari yang lebih prioritas hingga yang tidak prioritas. Berbagai perjanjian lingkungan internasional, yaitu Konvensi Basel dan Konvensi Stockholm, serta peraturan pengelolaan limbah di berbagai negara, seperti Directive 2006/12 dan Directive 2000/76 European Community mengharuskan penghormatan terhadap prinsip ini. Peraturan perundangundangan Indonesia, seperti Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18/1999 jo PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) juga menegaskan prinsip yang sama. Upaya pengelolaan pertama akan berpengaruh pada keberhasilan dari upaya pengelolaan kedua dan selanjutnya. Begitu pula pilihan satu upaya pengelolaan yang tidak prioritas harus memperhatikan upaya pengelolaan lainnya yang lebih prioritas. Dengan demikian diharapkan melalui penerapan pri

Stabilisasi/Solidifikasi

Secara umum stabilisasi didefinisikan sebagai proses pencampuran bahan berbahaya dengan bahan tambahan ( aditif ) dengan tujuan untuk menurunkan laju migrasi dan toksisitas bahan berbahaya tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama (Roger Spence and Caijun Shi, 2006).

Pengolahan Air

Proses penjernihan air untuk mendapatkan air yang berkualitas telah dilakukan oleh manusia beberapa abad yang lalu. Pada tahun 1771, di dalam edisi pertama Encyclopedia Britanica telah dibicarakan fungsi filter (filtrasi) sebagai sistem penyaring untuk mendapatkan air yang lebih jernih. Perkembangan selanjutnya dari proses pengolahan air minum telah menghasilkan bahwa pembubuhan zat pengendap atau penggumpal (koagulan) dapat ditambahkan sebelun proses penyaringan (filtrasi). Selanjutnya proses penggumpalan yang ditambahkan dengan proses pengendapan (sedimentasi) dan penyaringan (filtrasi) serta menggunakan zat zat organik dan anorganik  adalah merupakan awal dari cara pengolahan air. Kini ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepatnya, telah didesain sarana pengolahan air minum dengan berbagai sistem. Sistem pengolahan air minum yang dibangun tergantung dari kualitas sumber air bakunya, dapat berupa pengolahan lengkap atau pengolahan sebagian. Pengolahan lengkap adalah pengo