Langsung ke konten utama

Kebakaran Lahan Gambut

"kemarin saya melakukan perjalanan yang melewati kawasan rawa gambut dan tidak sengaja melihat adanya kebakaran lahan gambut. Dari situ saya tertarik untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya kebakaran lahan gambut tersebut serta dampaknya terhadap lingkungan. Berikut informasi yang saya dapatkan dari sebuah sumber tentang kebakaran lahan gambut."

Kebakaran hutan dan lahan gambut menjadi fokus utama kejadian kebakaran saat ini, mengingat dampak asap dan emisi karbon yang dihasilkan. Hutan Rawa gambut seluas 2.124.000 hektar telah terbakar pada kejadian kebakaran 1997/1998 (Tacconi,2003), mengemisikan sekitar 156,3 juta ton karbon ke atmosfer (Bappenas-ADB, 1999)
Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan kebakaran permukaan dimana api membakar bahan bakar yang ada di atas permukaan (misalnya: serasah, pepohonan, semak, dll), kemudian api menyebar tidak menentu secara perlahan di bawah permukaan (ground fire), membakar bahan organik melalui pori-pori gambut dan melalui akar semak belukar/pohon yang bagian atasnya terbakar.
Dalam perkembangannya, api menjalar secara vertikal dan horisontal berbentuk seperti kantong asap dengan pembakaran yang tidak menyala (smoldering) sehingga hanya asap yang berwarna putih saja yang tampak di atas permukaan. Mengingat peristiwa kebakaran terjadinya di dalam tanah dan hanya asapnya saja yang muncul ke permukaan, maka kegiatan pemadaman akan mengalami banyak kesulitan.
Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut
Kebakaran hutan/lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi masyarakat  
Terdegradasinya kondisi lingkungan
  • Perubahan kualitas fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, - penurunan permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak);
  • Perubahan kualitas kimia gambut (peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total yaitu Kalsium, Magnesium, Kalium, dan Natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-organik);
  • Terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang mati akibat kebakaran;
  • Suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak terbakar) sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati;
  • Rusaknya siklus hidrologi (menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di permukaan (surface run off). Kondisi demikian menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar, terjadinya sedimentasi dan perubahan kualitas air serta turunnya populasi dan keanekaragaman ikan di perairan. Selain itu kerusakan hidrologi di lahan gambut akan menyebabkan jangkauan intrusi air laut semakin jauh ke darat; 
  • Gambut menyimpan cadangan karbon, apabila terjadi kebakaran maka akan terjadi emisi gas karbondioksida dalam jumlah besar. Sebagai gas rumah kaca, karbondioksida berdampak pada pemanasan global. Berdasarkan studi ADB, kebakaran gambut 1997 menghasilkan emisi karbon sebesar 156,3 juta ton (75% dari total emisi karbon) dan 5 juta ton partikel debu.
Kesehatan manusi
Ribuan penduduk dilaporkan menderita penyakit infeksi saluran pernapasan, sakit mata dan batuk sebagai akibat dari asap kebakaran. Kebakaran gambut juga menyebabkan rusaknya kualitas air, sehingga air menjadi kurang layak untuk diminum. 
Aspek sosial ekonomi 
  • Hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan (berladang, beternak, berburu/ menangkap ikan);
  • Penurunan produksi kayu;
  • Terganggunya kegiatan transportasi;
  • Terjadinya protes dan tuntutan dari negara tetangga akibat dampak asap kebakaran;
  • Meningkatnya pengeluaran akibat biaya untuk pemadaman.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut
Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang sengaja melakukan pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi -kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran, seperti gejala EI Nino, kondisi fisik gambut yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut: 
Pembakaran vegetasi
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak dikendalikan pada saat kegiatan, misalnya dalam pembukaan areal HTI dan perkebunan serta penyiapan lahan pertanian oleh masyarakat.
Aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam
Kebakaran yang disebabkan oleh api yang berasal dari aktivitas manusia selama pemanfaatan sumber daya alam, misalnya pembakaran semak belukar yang menghalangi akses mereka dalam pemanfaatan sumber daya alam serta pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan. Keteledoran mereka dalam memadamkan api dapat menimbulkan kebakaran.
Penguasaan lahan
Api sering digunakan masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan.
Faktor pendukung kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut
Kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut tertinggi terjadi pada musim kemarau dimana curah hujan sangat rendah dan intensitas panas matahari tinggi. Kondisi ini pad a umumnya terjadi an tara bulan Juni hingga Oktober dan kadang pula terjadi pada bulan Mei sampai November. Kerawanan kebakaran semakin tinggi jika ditemukan adanya gejala EI Nino;
Pembuatan kanal-kanal dan parit di lahan gambut telah menyebabkan gambut mengalami pengeringan yang berlebihan di musim kemarau dan mudah terbakar;
Areal rawa gambut merupakan lahan yang miskin hara dan tergenang air setiap tahunnya, sehingga kurang layak untuk pertanian.
Untuk mempertahankan hidupnya, masyarakat melakukan perburuan satwa liar, menangkap ikan dan menebang kayu yang sering menggunakan api sebagai pendukung kegiatannya. *

Source: Wetland International-Indonesia Programme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prinsip Hirarki Pengelolaan Limbah

Prinsip hirarki pengelolaan limbah adalah suatu prinsip yang memberikan pedoman tentang tahapan-tahapan dalam pengelolaan limbah mulai dari yang lebih prioritas hingga yang tidak prioritas. Berbagai perjanjian lingkungan internasional, yaitu Konvensi Basel dan Konvensi Stockholm, serta peraturan pengelolaan limbah di berbagai negara, seperti Directive 2006/12 dan Directive 2000/76 European Community mengharuskan penghormatan terhadap prinsip ini. Peraturan perundangundangan Indonesia, seperti Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18/1999 jo PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) juga menegaskan prinsip yang sama. Upaya pengelolaan pertama akan berpengaruh pada keberhasilan dari upaya pengelolaan kedua dan selanjutnya. Begitu pula pilihan satu upaya pengelolaan yang tidak prioritas harus memperhatikan upaya pengelolaan lainnya yang lebih prioritas. Dengan demikian diharapkan melalui penerapan pri...

Stabilisasi/Solidifikasi

Secara umum stabilisasi didefinisikan sebagai proses pencampuran bahan berbahaya dengan bahan tambahan ( aditif ) dengan tujuan untuk menurunkan laju migrasi dan toksisitas bahan berbahaya tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama (Roger Spence and Caijun Shi, 2006).

Pengolahan Air

Proses penjernihan air untuk mendapatkan air yang berkualitas telah dilakukan oleh manusia beberapa abad yang lalu. Pada tahun 1771, di dalam edisi pertama Encyclopedia Britanica telah dibicarakan fungsi filter (filtrasi) sebagai sistem penyaring untuk mendapatkan air yang lebih jernih. Perkembangan selanjutnya dari proses pengolahan air minum telah menghasilkan bahwa pembubuhan zat pengendap atau penggumpal (koagulan) dapat ditambahkan sebelun proses penyaringan (filtrasi). Selanjutnya proses penggumpalan yang ditambahkan dengan proses pengendapan (sedimentasi) dan penyaringan (filtrasi) serta menggunakan zat zat organik dan anorganik  adalah merupakan awal dari cara pengolahan air. Kini ilmu pengetahuan telah berkembang dengan cepatnya, telah didesain sarana pengolahan air minum dengan berbagai sistem. Sistem pengolahan air minum yang dibangun tergantung dari kualitas sumber air bakunya, dapat berupa pengolahan lengkap atau pengolahan sebagian. Pengolahan lengkap adalah p...