Langsung ke konten utama

Prinsip Hirarki Pengelolaan Limbah

Prinsip hirarki pengelolaan limbah adalah suatu prinsip yang memberikan pedoman tentang tahapan-tahapan dalam pengelolaan limbah mulai dari yang lebih prioritas hingga yang tidak prioritas. Berbagai perjanjian lingkungan internasional, yaitu Konvensi Basel dan Konvensi Stockholm, serta peraturan pengelolaan limbah di berbagai negara, seperti Directive 2006/12 dan Directive 2000/76 European Community mengharuskan penghormatan terhadap prinsip ini. Peraturan perundangundangan Indonesia, seperti Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18/1999 jo PP 85/1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) juga menegaskan prinsip yang sama. Upaya pengelolaan pertama akan berpengaruh pada keberhasilan dari upaya pengelolaan kedua dan selanjutnya. Begitu pula pilihan satu upaya pengelolaan yang tidak prioritas harus memperhatikan upaya pengelolaan lainnya yang lebih prioritas. Dengan demikian diharapkan melalui penerapan prinsip hirarki pengelolaan limbah ini dapat mengurangi jumlah limbah secara signifikan mulai dari sumbernya sampai ke tempat pembuangan akhir. (lihat bagan; 6 M dalam pengelolaan limbah).

Langkah pertama yang paling disarankan adalah mencegah timbulnya limbah pada sumbernya (waste avoidance/waste prevention) sehingga tidak dihasilkan limbah (zero waste). Upaya pencegahan ini dapat dilakukan melalui penerapan prinsip produksi bersih (clean production) yaitu melalui
penerapan teknologi bersih, pengolahan bahan, substitusi bahan, pengaturan operasi kegiatan, memodifikasi proses produksi, mempromosikan penggunaan  bahan-bahan yang tidak berbahaya dan beracun atau lebih sedikit kadar bahaya dan racunnya, menerapkan teknik konservasi, dan menggunakan kembali bahan daripada mengolahnya sebagai limbah sehingga dapat  mencegah terbentuknya limbah dan pencemar.
 
Langkah yang kedua, apabila pencegahan tidak dapat dilakukan, adalah dengan berupaya melakukan minimisasi atau pengurangan limbah (waste minimization/reduction). Upaya minimisasi limbah ini juga dapat dilakukan denga cara menerapkan produksi bersih. Penggunaan teknologi yang terbaik yang tersedia
(best available technology/BAT) dapat membantu mengurangi konsumsi energi dan sumber daya alam secara signifikan yang pada akhirnya dapat mengurangi timbulnya limbah.

Langkah yang ketiga adalah pemanfaatan dengan cara penggunaan kembali (reuse). Reuse adalah penggunaan kembali limbah dengan tujuan yang sama tanpa melalui proses tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal. Contoh sederhana dari konsep reuse ini adalah menggunakan sisi kertas yang masih kosong dari kertas bekas untuk menulis atau untuk membuat amplop.

Langkah keempat adalah pemanfaatan dengan cara recycle, yaitu mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat melalui proses tambahan secara kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal yang menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang berbeda. Contoh sederhana dari konsep recycle ini adalah mengolah kertas bekas yang sudah tidak dipakai lagi untuk dijadikan kertas hasil daur ulang (recycled paper) dengan suatu proses tertentu.

Langkah yang kelima adalah pemanfaatan limbah dengan cara recovery, yaitu perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat dengan proses kimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal. Contoh dari konsep recovery ini adalah penggunaan limbah sekam padi (rice husk) sebagai substitusi bahan bakar.
 
Langkah yang keenam adalah pengolahan (processing) limbah dengan metode yang memenuhi persyaratan lingkungan dan keselamatan manusia. Contoh pengolahan yang umum adalah pembakaran limbah (insinerasi) dan penimbunan (landfilling). 

Berdasarkan prinsip hirarki pengelolaan limbah, penerapan suatu metode pengelolaan yang lebih less priority harus memperhatikan metode lainnya yang more priority. Artinya penerapan metode perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat dalam limbah (recovery) misalnya, harus mencegah atau mengurangi terbentuknya zat pencemar dan limbah baru serta mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan. Sebagai ukurannya, secara statistik, emisi udara dari penggunaan limbah sebagai substitusi bahan bakar atau bahan baku misalnya, tidak boleh lebih tinggi dari proses produksi dengan menggunakan bahan bakar dan bahan baku tradisional.

Penerapan prinsip hirarki limbah yang konsisten dapat mengurangi jumlah limbah sehingga bisa menekan biaya pengolahan limbah dan juga dapat meningkatkan kemanfaatan bahan baku yang pada gilirannya dapat mengurangi kecepatan pengurasan sumber daya alam. Bagi perusahaan dan masyarakat, penerapan prinsip hirarki pengelolaan limbah dapat berarti efisiensi biaya dan keuntungan secara ekonomi.
 
Meskipun prinsip hirarki pengelolaan limbah sudah ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, namun sayangnya, sebagian besar limbah di Indonesia masih dibuang secara sembarangan (open dumping). Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kondisi ini adalah tidak adanya kebijakan pengelolaan limbah yang terintegrasi antara pencegahan (prevention) dan pengendalian (control), dengan menerapkan prinsip hirarki pengelolaan limbah secara konsisten. Adanya instrumen ekonomi dalam bentuk insentif bagi keberhasilan pencegahan dan pengurangan limbah dan disinsentif bagi produsen limbah sesuai dengan jumlah limbah yang dihasilkannya merupakan kebutuhan yang mendesak untuk diterapkan di Indonesia saat ini.
 
Prinsip pengelolaan yang terintegrasi ini di Eropa dikenal dengan nama Integrated Pollution Prevention and Control (Directive 96/61/EC). Prinsip ini bertujuan untuk mencapai pencegahan dan pengendalian pencemaran yang terintegrasi yang ditimbulkan oleh industri skala besar. Prinsip ini memberikan kerangka dasar untuk melakukan pencegahan atau, kalau tidak praktis, untuk mengurangi emisi di udara, air dan tanah dari usaha/kegiatan, termasuk usaha dalam pengelolaan limbah, untuk mencapai standar perlindungan manusia dan lingkungan yang tinggi secara keseluruhan.

Sumber : www.ecotasgroup.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Stabilisasi/Solidifikasi

Secara umum stabilisasi didefinisikan sebagai proses pencampuran bahan berbahaya dengan bahan tambahan ( aditif ) dengan tujuan untuk menurunkan laju migrasi dan toksisitas bahan berbahaya tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama (Roger Spence and Caijun Shi, 2006).

Bangunan Pengolahan Air Minum (BPAM)

PENGERTIAN DAN BATASAN Bangunan pengolahan air minum (water treatment plant) merupakan serangkaian unit proses (fisik, kimia dan/atau biologi tertentu) untuk mengolah air baku menjadi air minum yang memenuhi baku mutu yang berlaku Secara umum air baku untuk pengolahan air minum : a.Air hujan b.Air permukaan (sungai, danau, waduk) c.Air tanah (mata air, sumur gali, sumur dalam METODE PERENCANAAN BPAM Tahap perencanaan bangunan pengolahan air minum : a. Penetapan Debit Rencana Debit rencana bangunan pengolahan air minum ditentukan berdasarkan proyeksi /perhitungan debit maksimum harian b. Analisis kualitas air baku Bertujuan untuk memperoleh parameter-parameter yang berkaitan dengan pengolahan air Karakteristik tipikal air permukaan di indonesia adalah masalah kekeruhan yang berfluktuasi tergantung musim c. Penentuan unit pengolahan Penentuan unit pengolahan (fisik, kimia dan/atau biologi tertentu) disesuaikan dengan kualitas air baku yang diolah. Unit pengolahan dalam perencan